Keluarga Baru Di Pulau Lombok

Perjalanan ini tidak bisa ditebak, diluar rencana, dan penuh kejutan.

Kala itu aku merasa harus mewujudkan salah satu impianku, setidaknya aku ingin menggapainya sebelum aku diwisuda. Mimpiku tersebut adalah mengunjungi Gunung Rinjani. Aku mencoba menghubungi beberapa teman, namun sepertinya mereka telah memiliki kegiatan masing-masing sehingga aku belum mempunyai teman jalan, hingga aku menghubungi Hario. Sebuah kejutan, ternyata dia mau ikut. Akhirnya Jadilah aku akan ergi berama dia yang juga mengajak temannya dari Surabaya dan memiliki teman yang berada di Lombok.

Awal Oktober aku yang saat itu berada di Jakarta harus mengikuti Yudisium untuk dinyatakan lulus dari kuliahku. Perasaan khawatir muncul karena dengan jadwal yang telah dibuat aku berangkat ke Lombok tanggal 10 Oktober malam. Aku yang di yudisium tanggal 8 Oktober harus bergegas untuk menuju stasiun Pasar Senen karena kereta yang akan membawaku ke Jawa Timur akan berangkat jam 16.00. Untunglah semua berjalan sesuai rencana meskipun harus tergesa-gesa karena diburu waktu. Tanggal 9 Oktober siang aku sampai di rumah. Aku hanya bisa beristirahat sebentar karena harus segera menyiapkan peralatan untuk menuju Rinjani seperti tenda, matras, dan lain-lain.

Ngegembel di Padang Bai
Ngegembel di Padang Bai

Aku janjian dengan Hario di terminal Jember karena posisiku yang berada di Bondowoso sedangkan Hario dkk berada di Surabaya. Akhirnya sekitar pukul 01.00 tanggal 11 Oktober bus yang ditumpangi Hario dan dua temannya yang bernama Rama dan Dio datang juga. Akhirnya akupun naik bus itu, dan karena malam hari bus tersebut ngetem sangat lama dan baru berangkat sekitar pukul 3.00. Tiba di Banyuwangi sekitar pukul 7 pagi dan langsung menuju pelabuhan Ketapang. Sekitar 30 menit akhirnya sampai di Bali dan kita bingung akan naik apa ke Padang Bai karena bus yang menghubungkan Gilimanuk-Padang Bai telah habis. Akhirnya kita memilih bus jurusan Denpasar dan estafet menuju pelabuhan Padang Bai. Untuk urusan transportasi kita harus berjibaku dengan para calo dan tawar menawar agar mendapatkan potongan harga. Setelah berjam-jam di atas mobil, akhirnya sekitar pukul 4 sore kita tiba di pelabuhan Padang Bai. Perjalanan dengan Kapal Ferry ke Pulau Lombok ditempuh sekitar 4 jam, dan sekitar pukul 20.00 WITA akhirnya untuk pertama kalinya kita menginjakkan kaki di tanah Lombok.

Kita harus menuju kota Praya untuk menuju ke rumah teman Hario. Di Praya kita dijemput oleh teman Hario yang bernama Mas Herman. Sesampai di rumah Mas Herman kita disambut oleh keluarganya yang ternyata akan ikut juga dengan kita menuju Rinjani. Katanya mereka mau berobat. Aku yang belum tahu apa-apa hanya mengiyakan saja. Sebuah kejutan bagi kami. Keluarga mas Herman yang asli Suku Sasak sering berbicara dengan bahasa daerah Sasak sehingga kami hanya bisa bengong ketika mereka berbicara bahasa Sasak. Dan yang lebih mengejutkan lagi, salah satu anggota tim yang akan berangkat ke Rinjani dari keluarga mas Herman adalah seorang pak tua yang berumur lebih dari 80 tahun, kakek dari mas Herman.

Malam itu kami menginap semalam di rumah mas Herman dan keesokan harinya berangkat menuju Gunung Rinjani. Kami menaiki mobil pickup yang telah dimodifikasi menjadi angkot. Entah apa sebutannya. Awalnya kami mengira akan menuju pos Senaru sebagai titik awal pendakian karena biasanya para pendaki umumnya melalui jalur Sembalun atau Senaru. Ternyata kami salah, mereka membawa kita menempuh jalur Torean, jalur yang biasanya dipakai oleh penduduk lokal yang akan beribadah atau memancing di danau Segara Anak.

Kami terlebih dahulu menuju salah seorang kenalan Pak Tua yang akan menjadi guide kami selama perjalanan. Namanya Mas Latip. Dia telah berkali-kali naik turun Rinjani, ibaratnya juru kuncinya lah. Semua diluar dugaan, mendaki dengan penduduk lokal baru kali ini aku alami. Peralatan yang mereka bawa juga sangat sederhana. Tidak ada yang namanya tenda dome, kompor portable, dan peralatan lainnya. Mereka hanya membawa terpal dan panci buat masak. Beras dan mie menjadi makanan kita nanti. Tidak ada carrier diantara kita termasuk kami. Beberapa membawa ransel dan pak tua hanya bermodalkan tas kresek untuk membawa barangnya. Beristirahat sebentar untuk makan siang dan sholat, kami akhirnya berangkat sore harinya, tanggal 12 Oktober 2013.

ImageJalur Torean memang tidak populer di kalangan pendaki karena bukan jalur resmi dari pihak Taman Nasional Gunung Rinjani. Sebenarnya jika diukur dari jarak tempuhnya, jalur Torean adalah jalur yang paling pendek, tetapi mungkin karena jalur ini sering terjadi longsor dan di beberapa titik sangat curam maka jalur ini tidak dibuat jalur resmi.

Pemandangan di Jalur ini sangat indah dan banyak terdapat sumber mata air. Air terjun penimbung dari aliran sungai Koko Putih dapat dilihat dari kejauhan, Sungai Koko Putih adalah sungai campuran air tawar dan air belerang dan dari Jalur Torean ini kita bisa lihat proses bertemunya kedua air tersebut dari atas tebing.

ImageDi awal perjalanan kita menyusuri pipa air yang sengaja dipasang untuk menyalurkan air bersih dari atas gunung ke masyarakat di bawah. Karena bukan jalur resmi TNGR maka tidak terdapat petunjuk arah di sana. Jalurnya sebenarnya sudah jelas karena sering dilalui oleh masyarakat lokal, tetapi setelah sampai di sungai Koko Putih mungkin kita yang belum pernah kesana akan merasa bingung karena setelah kita menyeberangi sungai tersebut jalur tidak terlihat dengan jelas.

Perjalanan sempat terhambat karena beberapa anggota tim merasa kelelahan dan semppat hampir terjatuh ke jurang termasuk aku. Suasana mistis mulai terasa di Rinjani ketika hari mulai beranjak malam. Belum sampai di tujuan kita berkemah yaitu sumber air panas Goa Susu tetapi malam mulai menghadang. Jadilah kita harus berjalan ekstra hati-hati karena di beberapa tempat rawan longsor. Beberapa titik terdapat tangga untuk membantu kita naik karena memang berupa tebing 90 derajat. Aku hampir saja masuk ke jurang ketika melewati pohon tumbang tetapi alhamdulillah tidak sampai jatuh terlalu dalam karena tertahan oleh semak dan pohon itu sendiri.

ImageImageImageImageAkhirnya setelah menempuh perjalanan yang sangat melelahkan, kami tiba di Goa Susu. Ternyata di sana sudah ada rombongan lain yang bertujuan untuk beribadah. Entah ritual apa yang mereka lakukan, aku hanya melihatnya saja. Kami langsung membangun tenda untuk tempat berteduh kami. Beberapa teman langsung menceburkan diri ke kolam air panas yang tersedia di sini. Banyak kolam yang tersedia di sini dan kabarnya terdapat ritual mandi di kolam air panas dengan urutan tertentu guna kepentingan kesehatan atau tujuan tertentu. Aku hanya menceburkan kaki saja dan memilih untuk langsung tidur.ImageImageKeesokan harinya aku mencoba untuk masuk ke Goa Susu dan mandi di pancuran di dalam Goa. Lumayan panas airnya namun tidak sampai melepuhkan kulit. Enak sekali rasanya, apalagi setelah menempuh perjalanan yang begitu melelahkan. Sebenarnya jika ditelusuri lebih jauh masuk ke dalam Goa, kita akan menemukan kolam air panas lagi. Namun karena kondisi sangat gelap dan tidak membawa senter akhirnya aku urungkan niatku untuk masuk. Terlebih lagi kondisi udara di dalam Goa yang minim oksigen.

Setelah puas mandi di air panas akhirnya kita melanjutkan perjalanan menuju Danau Segara Anak. Letaknya cukup dekat dari Goa Susu, kalau berjalan cepat sekitar 15 menit sudah sampai. Tidak semua anggota tim yang ikut, beberapa mungkin terlalu capek sehingga memutuskan untuk tidak ikut. Kami mulai berjalan, tapi belum sempat berjalan jauh, rintangan yang lumayan mengerikan terlihat di depan mata. Tebing 90 derajat harus didaki terlebih dahulu.

Sebenarnya cukup mudah menaiki tebing tersebut karena telah terdapat cekungan sebagai tempat bertumpu kita, namun dibutuhkan keberanian melawan takut akan ketinggian. Hal itulah yang terjadi pada Rama. Dia tidak bisa melanjutkan untuk naik karena menurut pengakuannya dia takut akan ketinggian dan kemudian dia menjelaskan bahwa sebenarnya terdapat makhluk gaib yang menahannya agar jangan naik. Entahlah, aku hanya mengiyakan saja.

Jadinya tinggal aku, Hario, Dio, Mas Latip, Mas Herman, dan satu lagi keluarga Mas Herman. Dio berjalan agak lambat karena kecapaian, jadilah aku dan Mas Latip setia menemaninya sedangkan mas Herman dan yang lainnya sepertinya tidak sabar untuk mencapai Segara Anak. Setelah beberapa saat kami berjalan akhirnya perlahan-lahan pemandangan Segara Anak muncul di hadapan mata. Layaknya anak kecil yang baru bertemu mainan baru, aku langsung girang melihat pemandangan itu dan langsung memperceat langkahku. Hario ternyata sudah banyak mengambil foto dan langsung mengajak berfoto narsis.

ImageDi Segara Anak telah banyak orang yang datang. Mereka umumnya datang dari Jalur Senaru dan Sembalun, jalur yang biasa dipakai oleh para pendaki. Beberapa bule terlihat di tendanya, bahkan ada bule yang berenang di sana. Mas Latip sudah beraksi dengan pancingnya, berharap mendapatkan beberapa ikan untuk menu makan siang agar tidak makan mie instan melulu. Aku, Hario, Dio, dan Mas Herman mulai menjelajahi tepian danau dan berfoto pastinya.

ImageImageImage

Hari sudah beranjak siang, tak terasa waktu berjalan sementara kami tertegun dengan keindahan alam didepan mata. Berdiskusi tentang kehidupan di antara semilir angin danau merupakan obat kami dalam mengisi kesunyian. Mereka yang memancing ternyata kurang beruntung dalam momen kali ini. Mereka hanya membawa sedikit ikan yang ukurannya kecil, tapi masih ada satu yang besar. Akhirnya kami kembali ke tempat kemah untuk memasak ikan kami dan selanjutnya melanjutkan perjalanan pulang.

Saat pulang, tentu kami harus melewati tebing yang kita lalui sebelumnya. Dan pada saat menuruni tebing adalah saat yang lebih menakutkan. Tapi syukurlah kami dapat melaluinya dengan selamat. Setelah tiba di tenda, ikan yang kami bawa langsung dibersihkan dan dimasak.

Setelah makan sekitar pukul 14.00 kami akhirnya mulai membereskan peralatan untuk kembali pulang. Rencananya kami menginap semalam di tengah perjalanan. Perjalanan pulang ternyata membawa cerita tersendiri, terutama dalam hal mistis. Pada saat menjelang maghrib, tiba-tiba mas Latip menyuruh kami untuk mempercepat langkah. Katanya dibelakang kami ada makhluk lain. Entahlah aku kurang mengerti hal yang seperti itu. Tapi syukurlah semua berjalan dengan selamat dan seluruh tim dapat berkumpul dan membangun tenda untuk bermalam.

Esoknya kami melanjutkan perjalanan turun. Jalur yang kami tempuh sama dengan jalur berangkat. Pak Tua sempat beberapa kali tidak kuat berjalan dan harus digendong oleh anaknya, dan Alhamdulillah Pak Tua sampai dengan selamat di bawah termasuk kami semua.

Image

Image

Akhirnya setelah menunggu mobil jemputan tiba kami langsung menuju rumah mas Latip untuk sholat, membersihkan diri, dan makan. Kami langsung melanjutkan pulang ke Praya malam itu juga karena rencana esoknya kami berempat harus kembali ke Jawa. Sekitar tengah malam kami telah tiba di rumah Mas Herman.

Esoknya kami menuju Mataram dengan naik taksi karena bus yang menuju ke Jawa akan berangkat pukul 11.00. Kami memlih naik bus cepat karena kondisi kami yang sudah capai. Pukul 11.00 lebih bus berangkat meninggalkan Mataram, meninggalkan Lombok, membawa kenangan kami bersama Rinjani. Aku sampai di Situbondo sekitar pukul 2.00 dan aku harus bermalam sebentar di terminal Situbondo hingga angkutan yang membawaku ke Bondowoso ada.

Terima kasih buat keluarga di Lombok, semoga kita bisa bertemu lagi.

Tinggalkan komentar