Injakkan Kakimu di Sumatera: Palembang

Kereta api Sriwijaya membawaku menuju Palembang dengan para penumpang lain yang belum pernah aku kenal. Malam itu aku duduk berdampingan dengan seorang ibu-ibu tua. Seperti halnya yang biasa aku temui pada kereta yang ada di Pulau Jawa, ternyata para penumpang disini juga lebih memilih tidur selonjoran di lantai. Banyak penumpang yang melakukannya, dan akupun mencoba hal yang sama. Satu hal buatku yang membuat perjalanan kereta ini istimewa adalah seringnya berpapasan dengan kereta pengangkut batubara yang panjangnya super super panjang.

img_20150403_203540
Stasiun Tanjung Karang, Lampung
c360_2015-04-04-09-40-00-515
Kereta Sriwijaya
c360_2015-04-04-08-38-46-428
Suasana di dalam kereta api

Keesokan harinya aku telah tiba di Palembang, stasiun Kertapati tepatnya. aku langsung bertanya ke salah satu petugas di sana bagaimana cara untuk menuju tujuan pertamaku,  Jembatan Ampera. Aku diberi tahu kalau ada bus kota semacam Metro Mini yang melewati Jembatan Ampera, bisa ditemui di depan stasiun persis. Langsung saja aku mencari bus itu yang ternyata mudah untuk ditemui. Tidak begitu lama menunggu, bus yang aku naiki berangkat. Aku tidak tahu berapa lama untuk menuju Jembatan Ampera, hingga akhirnya dari jauh pucuk merah Jembatan Ampera terlihat dari jauh. Akupun bersiap untuk turun.

Banyak tempat menarik yang bisa dikunjungi di area Jembatan Ampera, misalnya Masjid Agung Palembang, Monumen Perjuangan Rakyat (Monpera), Pasar 16 Ilir, Benteng Kuto Besak, Museum Sultan Mahmud Badaruddin II, dan lain-lain. Hal pertama yang aku lakukan adalah menyusuri sepanjang Jembatan Ampera. Suasana ramai kendaraan yang macet mengingatkanku dengan Jakarta. Dari sisi Jembatan Ampera kita bisa melihat gagahnya Sungai Musi yang membelah Palembang. Terbayang bagaimana sistem masyarakat kerajaan Sriwijaya dulu bekerja dengan urat nadi Sungai Musi ini.

c360_2015-04-04-10-35-32-360
Jembatan Ampera dari Pasar 16 Ilir

Setelah capek menyusuri Sungai Musi, aku memutuskan makan makanan khas di sini. Kata orang yang aku tanya, sentra makanan khas Palembang ada di Pasar 26. Aku memilih untuk berjalan kaki saja menuju ke sana meskipun kata orang letaknya lumayan jauh. Sepanjang perjalanan aku melewati kantor-kantor pemerintahan Kota Palembang yang masih memakai gedung-gedung tua dengan arsitektur kolonial. Di Pasar 26 ternyata banyak sekali pedagang yang menjual berbagai macam makanan, seperti empek-empek, Mie Celor. dll. Aku langsung mencari makanan yang belum pernah aku makan, yaitu Mie Celor. Agak ragu juga untuk mencobanya karena melihat dari penampilannya yang kuahnya sangat kental. Tapi setelah dicoba ternyata rasanya sangat enak.

Setelah kenyang makan Mie Celor aku bersiap menuju destinasi selanjutnya yaitu Museum Sultan Mahmud Badaruddin II. Di sana kita bisa melihat sejarah Palembang dari zaman Kerajaan Sriwijaya, Kesultanan Palembang, hingga saat ini. Banyak benda-benda bersejarah yang menarik untuk dilihat dan dipelajari di museum ini.

Selesai dari Museum Sultan Mahmud Badaruddin II aku melanjutkan perjalanan ke Benteng Kuto Besak. Jaraknya sangat dekat dengan Museum. Tapi sayangnya aku tidak bisa masuk ke dalam benteng karena ternyata Benteng Kuto Besak digunakan sebagai markas militer. Jadinya aku hanya bisa melihat dan berfoto di luar benteng.

img_20150404_114745
Museum Sultan Mahmud Badaruddin II

Tidak lengkap berkunjung ke sebuah kota tanpa berkunjung ke Pasarnya, jadi aku sempatkan untuk berkunjung ke Pasar 26 Ilir sekedar melihat hiruk pikuk masyarakat kota Palembang. Di pasar ini dijual berbagai macam barang, dari makanan hingga pakaian. Aku juga membeli oleh-oleh dan cinderamata di pasar ini.

c360_2015-04-04-14-47-04-419
Suasana pasar di bawah jembatan Ampera
c360_2015-04-04-10-30-15-527
Sudut Pasar 16 Ilir

Hingga maghrib menjelang aku berkeliling kota Palembang, dan akupun memutuskan untuk sholat maghrib terlebih dahulu di Masjid Agung Palembang yang berasitektur Indonesia, China, dan Eropa. Setelah sholat maghrib aku sempatkan untuk makan empek-empek di depan Masjid Agung dan membeli martabak Har yang terkenal.

c360_2015-04-04-13-56-09-988
Masjid Agung Palembang
c360_2015-04-04-19-06-41-710
Ampera malam hari

Dari membeli martabak Har, aku langsung mencari angkot untuk menuju stasiun karena aku harus kembali ke Bandar Lampung dengan menumpang Kereta Sriwijaya lagi yang berangkat pukul 21.00. Karena tidak tahu kondisi jalanan palembang, aku memilih untuk lebih awal menuju stasiun, tapi ternyata aku malah terlalu awal tiba. Aku harus menunggu lumayan lama di stasiun. Tapi mending daripada terlambat.Akhirnya tepat pukul 21.00 aku sudah berada di dalam kereta untuk menuju Bandar Lampung. Sampai jumpa lagi Palembang, mungkin lain kali aku akan mengunjungimu kembali.

 

 

Injakkan Kakimu di Sumatera: Bandar Lampung

Sudah lama dari sejak awal menjalani perkuliahan di Jakarta, aku berkeinginan untuk mengunjungi tanah Sumatera. Terlebih banyak sekali temanku yang berasal dari pulau yang dijuluki Pulau Andalas tersebut. Namun apa daya kesempatan tersebut tidak kunjung tiba hingga aku lulus kuliah. Setamat kuliah aku kembali sementara ke kampung halaman dan semakin melupakan keinginanku tersebut, hingga sampai aku kembali lagi ke Jakarta untuk bekerja aku meneguhkan niat untuk mencoba menjejakkan kaki di pulau Sumatera.

Aku berencana mengunjungi Lampung karena kota tersebut adalah yang paling dekat dengan Pulau Jawa dan di sana terdapat beberapa temanku semasa kuliah dulu. Rencananya aku berangkat menggunakan Bus Damri dari Stasiun Gambir, langsung menuju Bandar lampung. Sebelum menuju Lampung, aku iseng mengunjungi situs KAI dan ternyata ada tiket promo. Setelah memcari beberapa informasi, ternyata di Sumatera terdapat kereta api yang menghubungkan Bandar Lampung dengan Palembang. Langsung saja aku cari tiket kereta promo untuk relasi Bandar lampung (St. Tanjung Karang) ke Palembang (St. Kertapati) pulang pergi. Rencananya aku akan menghabiskan waktu seharian di Palembang kemudian kembali lagi ke Bandar Lampung.

Tiba saatnya aku berangkat ke Bandar lampung. Kebetulan saat itu bertepatan dengan libur long weekend sehingga aku tidak perlu tidak masuk kantor. Kamis malam aku sudah siap di stasiun Gambir untuk keberangkatan bus pukul 10 malam. Ternyata di sana sudah banyak sekali penumpang yang datang. Wajar saja sih berhubung ini adalah libur panjang jadi banyak yang mau liburan atau pulang kampung. Sempat terjadi salah paham aku akan duduk di kursi bus. Ternyata nomor kursi yang aku punya sudah ditempati oleh orang lain. Saat di cek ternyata nomornya sama. langsung saja aku dan orang yang duduk di kursiku menuju tempat petugas, dan ternyata setelah dikonfirmasi, orang tersebut salah naik bus. Untunglah hal tersebut segera beres karena segera setelahnya bus berangkat tepat waktu pukul 10.00.

Bus berangkat dengan lancar di tengah lengangnya kota Jakarta di malam hari. Tidak ada kemacetan sepanjang perjalanan. Begitu pula saat melintasi jalan tol Jakarta-Merak kondisi jalan sangat lancar, hingga aku tertidur hingga terbangun saat bus Damri memasuki pelabuhan Merak, Banten. Kondisi pelabuhan Merak tetap ramai meskipun waktu menunjukkan pukul 00.00 WIB. Bus kemudian mulai memasuki kapal ferry yang bersandar. Semua penumpang diwajibkan turun dari dalam bus. Aku pun segera turun dan memasuki ruangan penumpang kapal yang berada di bagian atas kapal. Ternyata kondisi kapal sangat penuh hingga aku tidak kebagian tempat duduk. Ya sudahlah, aku akhirnya harus rela duduk di lantai kapal selama sekitar dua jam perjalanan melintasi Selat Sunda ditemani terjangan angin laut dan hujan gerimis yang turun malam itu.

Sekitar pukul 3.00 WIB kapal sudah merapat di Pelabuhan Bakauheni, Lampung. Akhirnya aku tiba di Pulau Sumatera, pulau yang “baru” buatku. Dari pelabuhan Bakauheni bus menlanjutkan perjalanan menuju Bandar Lampung. Di sana aku akan dijemput oleh temanku, Bagus namanya. Dan akhirnya, sekitar pukul 6.00 aku telah tiba di bandar lampung. Sempat kebingungan harus turun di mana, tetapi nekat saja aku turun di pemberhentian yang paling banyak penumpang turun, yaitu di Kertapati, sekomplek dengan stasiunnya. Ternyata di sini transportasinya sudah terintegrasi, juga dekat dengan pusat perbelanjaan yang kata Bagus kalau mencari tenun Lampung di sanalah tempatnya.

Aku langsung menghubungi Bagus dan tak lama kemudian dia datang menggunakan mobilnya. Pertama-tama aku diajak keliling kota Bandar Lampung sembari mencari sarapan. Untuk hari pertama di kota Bandar lampung aku bingung mau ke mana saja, dan akhirnya aku pasrahkan saja pada temanku yang satu ini. Sebenarnya ada satu lagi teman yang akan aku temui. Galih namanya. Namun pagi harinya dia ada kesibukan sehingga baru bisa bertemu siang harinya selepas sholat jumat. Maka jadilah hari  itu kami hanya berkeliling menikmati kota Bandar Lampung. Kami tidak menuju destinasi yang agak jauh karena malamnya aku akan meneruskan perjalanan menuju Palembang menggunakan kereta.

Kantor Pemerintahan Kota Bandar Lampung
Kantor Pemerintahan Kota Bandar Lampung
bdrlpng
Salah Satu Sudut Bandar Lampung

Selama di Bandar Lampung aku mencoba beberapa makanan yang ada di sana, dan mendapatkan informasi bahwa sebenarnya di Lampung mayoritas adalah orang jawa, dan di sana sangat banyak ditemukan daerah-daerah yang bernama sama seperti kota di Jawa, seperti Sukoharjo, Wonosobo, dan lain-lain. Hingga selepas sholat Jumat, Galih akhirnya menyempatkan untuk bertemu dengan kami. Aku memutuskan untuk melanjutkan petualangan di Lampung bersama Galih karena Bagus memiliki acara lain bersama keluarganya. Galih sebenarnya memiliki rencana untuk mengajakku ke salah satu spot snorkling yaitu Tanjung Putus bersama teman-teman kantornya. Aku sebenarnya tertarik dengan tawaran tersebut dan memutuskan untuk membatalkan rencana ke Palembang, tetapi akhirnya batal karena teman-teman Galih yang belum bisa untuk pergi. Ya sudahlah, nanti malam tetap ke Palembang.

Stasiun Tanjung Karang
Stasiun Tanjung Karang

Oleh Galih aku diajak kembali mengelilingi kota Bandar Lampung, kemudian mengunjungi kantor tempat dia bekerja, dan dibawalah aku ke rumahnya. Di sana aku hanya sebentar karena sekitar pukul 21.00 kereta yang membawaku menuju Palembang akan berangkat. Pukul 20.00 aku diantar oleh Galih menuju stasiun Tanjung Karang. Kereta yang aku gunakan adalah kereta api Sriwijaya. Pukul 21.00 tepat kereta Sriwijaya meluncur ke Palembang. Negeri empek-empek, aku datang…

#Berlanjut…

Sukabumi: Saatnya Kembali Pulang

Satu malam lagi kami menginap di rumah Indra, dan sekali lagi kami membuat repot mereka. Setelah pulang dari air terjun Cibeureum, kami memutuskan untuk beristirahat saja di rumah Indra karena badan terasa sangat lelah. Aku tiba-tiba saja merasakan gejala pilek, dan untunglah ibu Indra banyak mengerti soal obat-obatan sehingga aku langsung diberi obat saat itu dan dilarang untuk mandi sore. Malam harinya kami menghabiskan waktu dengan bermain UNO dan lebih banyak tertawa karena kebodohan-kebodohan yang dilakukan.

Esok harinya kami sekali lagi disambut oleh cuaca dingin Sukabumi di pagi hari. Karena kereta kami jadwalnya berangkat sore hari maka kami tidak begitu terburu-buru. Kami memutuskan untuk berangkat setelah sholat dhuhur dan sekalian membeli oleh-oleh khas Sukabumi yaitu kue Mochi.

Selepas dhuhur kamipun berangkat meninggalkan rumah Indra dengan menggunakan angkot. Tetapi sebelum itu kami tidak lupa untuk berfoto bersama di depan rumah Indra dan mengucapkan banyak terima kasih kepada orang tuanya.

Sebelum menuju stasiun, kami membeli Kue Mochi di salah satu toko yang sepertinya adalah toko mochi yang katanya yang paling enak di Sukabumi. Kami yang bukan berasal dari Sukabumi sih percaya saja. Kue mochi adalah kue yang terbuat dari tepung beras dan tepung beras ketan dengan isian kacang tanah. Rasanya menurutku enak juga, teksturnya kenyal dan isian kacang tanahnya manis.

Setelah membeli kue mochi, karena waktu masih lama hingga keberangkatan, kami memutuskan untuk berjalan-jalan di alun-alun Sukabumi dan Taman Kota Lapang Merdeka. Karena saat itu siang hari, maka suasana terasa sangat panas, tapi hal tersebut tidak membuat kami berhenti untuk berfoto di tengah Lapang Merdeka.

Lapang Merdeka
Lapang Merdeka
Alun-Alun
Alun-Alun

Sekitar pukul setengah tiga kami berangkat menuju stasiun. Cukup berjalan kaki karena jarak antara alun-alun dengan stasiun tidak begitu jauh, melewati pasar tradisional Sukabumi yang ternyata wanginya tidak jauh dengan pasar-pasar di daerah lain. Sekitar 15 menit berjalan akhirnya kami samapai di stasiun. Sebelum kereta berangkat, kami sempatkan berfoto bersama dahulu di depan stasiun.

Foto Bersama di Depan Stasiun Sukabumi
Foto Bersama di Depan Stasiun Sukabumi
Sampai Jumpa Lagi Sukabumi
Sampai Jumpa Lagi Sukabumi

Ada kejadian menarik saat kami naik kereta, Iqbal ternyata melihat sesosok wanita yang sesuai kriterianya, yang model slim seperti Rukmana dalam sinetron Tukang Bubur Naek Haji. Tapi karena dipisahkan oleh gerbong kereta, Iqbal hanya dapat melihat wanita tersebut hanya lewat saja.

Di dalam kereta kami tidak bermain UNO seperti saat keberangkatan, mungkin karena sudah capek dan posisi dudukku yang terpisah dengan lainnya. Tidak terasa perjalanan kereta menuju Bogor Paledang telah usai, para penumpang mulai bergerak keluar gerbong kereta. Kami langsung menuju stasiun Bogor untuk berganti moda Commuter Line.

Di atas commuter line, entah apa karena sudah takdir Tuhan, wanita yang dilihat Iqbal ketika di stasiun Sukabumi juga naik di commuter line yang sama dengan kita dan duduk di samping Iqbal. Tapi hal tersebut tidak berlangsung lama. Belum sempat Iqbal melancarkan aksi pendekatannya, tiba-tiba saja wanita tersebut diajak teman-temanya untuk pindah gerbong. Pupus sudah harapan Iqbal.

Commuter line menuju Jakarta mulai bergerak maju, Seno yang pertama kali turun di Stasiun UI, kemudian aku dan Herdi yang turun di Stasiun Tebet, dan akhirnya Iqbal melanjutkan perjalanannya seorang diri menuju Tangerang, yang mungkin disertai perasaan menyesal karena kesempatan tidak datang dua kali.

Sukabumi: Cibeureum Menyimpan Cerita

Kami dijemput oleh Indra dan ayahnya dengan menggunakan mobil sehingga semua orang bisa langsung terangkut. Kota Sukabumi di malam hari terasa sepi dan sunyi dan sangat berbeda jauh dengan keadaan Jakarta yang ramai. Kami melintasi jalanan kota menuju daerah Salabintana, tempat rumah Indra berada. Angin malam yang dingin terasa menenangkan perasaan, sedikit melupakan kekhawatiran akan ketidakpastian.

Tidak lama kemudian kami telah tiba di rumah Indra yang bagiku ini adalah kunjungan kedua kalinya, tapi bagi yang lain ini adalah yang pertama. Rumah Indra ini selain tempat tinggal, juga menjadi tempat praktik ibunya yang seorang bidan. Kami langsung memasuki rumah karena ingin segera beristirahat, dan disambut hangat oleh Ibu Indra. Kami disediakan tempat tidur yang nyaman disana. Udara Sukabumi yang dingin-dingin enak ditambah kesunyian malam menemani tidur kami malam itu.

Keesokan harinya kami berencana untuk mengunjungi sebuah air terjun yang letaknya tidak begitu jauh dari rumah Indra, dan masih di kawasan Salabintana juga. Nama air terjun itu adalah air terjun Cibeureum, terletak di kaki gunung Gede dan masuk di dalam kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango resort Salabintana. Untuk menuju ke sana kami harus naik angkot sekali dari depan rumah Indra. Tidak lama kami menunggu akhirnya angkot berwarna merah tiba juga. Kami langsung naik ke angkot tersebut dan Ibu Indra langsung berbicara dengan si supir angkot dengan bahasa Sunda tingkat tinggi yang tidak aku mengerti artinya. Mungkin yang diomongkan mereka adalah “anak-anak ini mau ke Cibeureum, tolong dijaga ya… :D”.

Angkot warna merah ini pun berangkat. Di dalam angkot sudah ada sekitar 3 orang penumpang lainnya. Dan sekali lagi aku dipusingkan dengan pembicaraan mereka yang membuatku senyum-senyum sendiri karena mereka menggunakan bahasa Sunda level native speaker. 😀 Jalan menuju resort Salabintana terus menanjak dan berliku, juga sangat sepi. Melewati perkebunan teh yang dikelola sebuah perusahaan kami disuguhkan pemandangan yang sangat memukau. Hingga akhirnya angkot merah berbelok ke sebuah tanah lapang yang terdapat banyak warung. Ternyata sudah sampai.

Pintu Masuk Jalur Salabintana
Pintu Masuk Jalur Salabintana

Dari sinilah kami mulai perjalanan dengan berjalan kaki menyusuri jalan setapak yang jalurnya sudah sangat jelas. Dari sini pula jalur untuk menuju puncak Gunung Gede jalur Salabintana dimulai. Menurut keterangan di sana, jarak yang harus ditempuh untuk menuju air terjun Cibeureum adalah sejauh 3,5 km dengan waktu tempuh sekitar 1,5 jam. Jalan setapak berbatu terus menemani perjalanan kami. Suasana terasa sangat lembab karena pohon-pohon besar seolah menjadi kanopi alami dan sepanjang perjalanan kami ditemani oleh aliran sungai kecil. Nah, karena lingkungan yang lembab dan basah tadi maka tidak heran populasi pacet si penghisap darah sangat banyak. Kami sebelumnya tidak mengetahui hal tersebut, sehingga hampir semua dari kami hanya memakai sandal terbuka, yang menjadi sasaran manis untuk para pacet tersebut. Seno yang memiliki badan yang agak berisi berkat fitnesnya yang rutin sepertinya tidak salah jika menjadi favorit para pacet. Dengan diam-diam seekor pacet telah nempel di kaki Seno yang malang dan dengan asyik menghisap darahnya. Hingga tiba-tiba Seno merasa ada yang janggal di kakinya. Begitu tahu ada pacet yang nempel di sana, langsung saja muncullah sumpah serapah darinya. Kami langsung berupaya menyingkirkan pacet itu dari kaki Seno. Kami berusaha mencari puntung rokok buat diambil tembakaunya sebagai pengusir pacet namun tidak ketemu, maka akhirnya kami pun menggunakan cara paksa untuk mengusir si pacet. Si pacet yang sudah setengah gendut akhirnya dapat disingkirkan. 😀

Jalur Batu dan Sungai
Jalur Batu dan Sungai
Layaknya Foto di Abbey Road
Layaknya Foto di Abbey Road

Perjalanan terus berlanjut menyusuri jalan batu hingga sayup-sayup terdengar suara derasnya air terjun. Suara tersebut bagaikan lagu penghipnotis karena kami semakin bertambah semangat untuk segera sampai di tujuan. Tidak seberapa lama berjalan akhirnya kami dapat melihat gagahnya air terjun Cibeureum yang mengucurkan air dari ketinggian 60 meter. Oh iya, sepengetahuanku ada dua air terjun dengan nama Cibeureum, satu berada di Cibodas dan yang satu lagi berada di Salabintana ini. Tidak membuang waktu, kami segera berfoto dan bernarsis ria. Kata Indra, kalau pengunjung sedang ramai maka kita bisa menemukan warung di sana yang menjual berbagai makanan ringan. Tapi karena saat itu sedang sepi dan tidak ada pengunjung selain kami jadi ya tidak ada yang berjualan di sana.

Air Terjun Ciebeureum
Air Terjun Ciebeureum
Papan Keterangan
Papan Keterangan

Kurang afdol rasanya kalau berkunjung ke objek air terjun kemudian tidak mandi dan bermain air di sana. Derasnya air yang jatuh membuat sensasi pijat di kulit, pijatan yang lumayan menusuk kulit. Dan karena saat itu sedang heboh-hebohnya tantangan #icebucketchallenge , maka muncullah ide membuat tantangan serupa tapi beda yaitu #icewaterfallchallenge. Agak dipaksakan memang tapi ya tetap dilakukan juga. Seno yang pertama kali mencoba. Setelah kamera siap merekam, dia pun memulai aksinya. Awalnya dibuka dengan pembukaan yang kurang lebih seperti ini “Gue tantang blah blah blah buat ngelakuin ice waterfall challenge blah blah blah …” setelah itu baru mengguyurkan diri di bawah air terjun Cibeureum yang cukup membuat badan menggigil. Begitu seterusnya kami bergiliran melakukan hal yang tidak berguna itu. Rencananya video tersebut akan di upload di Instagram. Seno yang terlebih dahulu meng upload nya, kemudian disusul yang lain setelah mendapatkan tag dari Seno, persis seperti #icebucketchallenge. Yang pada akhirnya semua itu ternyata menjadi sebuah konspirasi terselubung. Seno yang sudah mengunggah videonya di Instagram dan juga men-tag yang lain harus menelan pil kekecewaan. Tidak ada satupun yang di tag meng-upload videonya di Instagram :D. Hingga mungkin karena merasa dikhianati dan mendapatkan jumlah like yang sedikit, serta comment-comment yang tidak sedap dari follower-nya, Seno menghapus video yang sudah di upload-nya di Instagram :D.

Groufie Dikit
Groufie Dikit

Hari semakin siang dan sepertinya kami telah puas menikmati pesona dari air terjun Cibeureum dan memutuskan untuk kembai pulang. Kali ini kami menempuh jalur yang berbeda dari keberangkatan. Di jalur ini kami akan disuguhi pemandangan yang berbeda karena jika awalnya perjalanan hanya menyuguhkan pemandangan hutan, maka di jalur yang ini selain melewati hutan juga akan melewati kebun teh. Jalur pulang akan berujung di perkampungan warga dan di sana kami sempatkan untuk sholat di masjid kemudian menunggu angkot untuk menuju kota Sukabumi.

Setelah mendapatkan angkot yang ternyata juga berwarna merah, perjalanan menuju kota Sukabumi dimulai. Rencananya kami akan berwisata kuliner di sana sekalian melihat hiruk pikuk kota Sukabumi di siang hari. Dan sampailah kami di lokasi yang kata Indra itu adalah tempat jajanan dan nongkrongnya anak-anak sekolah. Dan benar saja, begitu turun dari angkot kami langsung disambut dengan banyaknya anak-anak berseragam yang sepertinya baru pulang sekolah. Lumayan ramai dan jajanan yang ditawarkan sangat banyak, mulai dari cilok, bakso, gorengan, hingga es duren. Kami mencoba beberapa makanan hingga merasa puas.

Tak terasa hari sudah semakin sore dan kami memutuskan untuk kembali ke rumah Indra, kemudian beristirahat dan esok hari rencananya kami akan kembali ke Jakarta.

(akan berlanjut)

Sukabumi: Hampir Ketinggalan Kereta

Perjalanan kali ini sebenarnya adalah perjalanan dadakan yang direncanakan setelah kami yang menamakan diri Staveler selesai melaksanakan sebuah tes kompetensi dasar di Jakarta. Beberapa hari sebelum rencana ini muncul, kami berkumpul di rumah salah seorang anggota Staveler yang bernama Herdi di Tebet. Kami sudah lama tidak melakukan perjalanan bersama lagi setelah terakhir mengunjungi rumahku di Bondowoso, hingga akhirnya terbersit ide untuk melakukan perjalanan ke rumah seorang teman kami, Indra yang rumahnya di Sukabumi. Kami akhirnya langsung sepakat dan mengumpulkan uang serta fotokopi KTP untuk segera memesan tiket kereta Pangrango kelas ekonomi agar tidak kehabisan tiket. Aku yang bertugas membeli tiket kereta Bogor-Sukabumi dan Sukabumi-Bogor di stasiun Tanah Abang.

Hari keberangkatan pun tiba, aku bersama Iqbal berangkat bersama dari Tangerang. Karena kereta berangkat sekitar pukul 18.30 maka kami berpikir untuk berangkat di siang hari. Sedangkan dua orang teman lagi, yaitu Seno dan Herdi sudah sepakat untuk bertemu di stasiun Bogor, sedangkan Indra telah menunggu di Sukabumi. Aku dan Iqbal memakai Commuter Line untuk menuju stasiun Bogor dan berangkat dari Rumah Iqbal sekitar jam 2 siang. Tapi kami kurang beruntung, persis ketika kami turun dari angkot di depan stasiun Poris, kereta CL pun tiba-tiba telah melintas dan kami ketinggalan kereta. Ya sudahlah, kami harus menunggu sekitar setengah jam lagi untuk kereta selanjutnya. Waktu semakin mepet dengan waktu keberangkatan kereta Pangrango, sedangkan kereta CL kami masih jauh dari stasiun Bogor. Rasa was-was ketinggalan kereta langsung menghantui kami. Seno dan Herdi setelah kami hubungi ternyata sudah berada di stasiun Bogor dan aku menyuruh mereka untuk menuju stasiun Paledang terlebih dahulu. Oh iya, keberangkatan kereta Pangrango bukan dari stasiun Bogor melainkan dari Stasiun Paledang yang letaknya tidak begitu jauh dari stasiun Bogor.

Stasiun Paledang (sumber: google image)
                                    Stasiun Paledang (sumber: google image)

Akhirnya sekitar pukul 18.10 kereta CL kami telah tiba di stasiun Bogor dan kami langsung menuju luar stasiun untuk menuju ke stasiun Paledang. Masalah lain muncul, kami kesulitan mencari lokasi stasiun Paledang hingga akhirnya kami bertanya dengan orang-orang sekitar. kami mencoba menghubungi Seno dan Herdi yang kami kira sudah berada di stasiun Paledang, namun ternyata mereka masih berada di stasiun Bogor. Maka jadilah kehebohan dimulai. Aku dan Iqbal terus berlari menuju stasiun Paledang sementara Seno dan Herdi entah sudah berada di mana aku juga tidak tahu. Ketika Aku dan Iqbal sudah berada di stasiun Paledang kereta sepertinya sudah siap berangkat dan para penumpang lainnya telah masuk ke dalam kereta. Pikiran tidak jadi berangkat kembali muncul, hingga akhirnya perjuangan kami tidak sia-sia, sambil berlari tergopoh-gopoh, Seno dan Herdi terlihat menuju stasiun Paledang. Tidak sempat berbasa-basi kami langsung menuju petugas pemeriksa tiket dan sepertinya petugasnya sudah tidak melihat kebenaran data antara KTP dengan tiket karena tiket kami langsung di stempel. 😀

Akhirnya setelah ngos-ngosan sehabis berlari kami bisa duduk dengan tenang di dalam kereta Pangrango yang sebenarnya sama dengan kereta ekonomi pada umumnya. Pemandangan di luar tentu sudah gelap dan tidak terlihat apa-apa sehingga kami menghabiskan waktu di dalam kereta dengan bermain kartu UNO. Tidak terasa sekitar 2 jam waktu berlalu, dan kereta memasuki stasiun Sukabumi. Indra telah berada di sana untuk menjemput kami bersama ayahnya. Hawa sejuk kota Sukabumi langsung menyapa kami setelah turun dari kereta. Yey, akhirnya Staveler sudah menginjakkan kakinya di Sukabumi. Petualangan menanti esok harinya.

(akan berlanjut)

Pengingat Buatku

Fase hidup tiap orang tentunya berbeda, ada yang di usia sangat muda telah memasuki fase yang umumnya dilakoni oleh mereka yang berusia lebih tua darinya namun ada juga yang mengalami kebalikannya. Ada yang telah bekerja dan menghasilkan uang di usia muda, namun di sisi lain ada mahasiswa yang terus berjuang untuk mencapai sebuah kata lulus.

Sama halnya dengan yang lain, kini aku telah memasuki fase yang berbeda dari fase sebelumnya. Fase yang tidak pernah aku duga karena tidak pernah aku memilihnya. Tapi ya kudu dijalani, namanya juga kudu terus hidup.

Setiap fase tentu akan menghadapi lingkungan yang baru, baik itu dari tempat yang baru, pekerjaan yang baru, dan juga teman-teman yang baru. Sering yang terjadi adalah semua yang serba baru tersebut tidak memiliki kecocokan dengan kita. Suasana kantor yang sangat dingin, teman-teman yang tidak memiliki kesamaan hobi, di tempat baru ini kemampuan saya akan dibatasi, dan lain-lain. Semua hal tersebut juga mungkin akan membuat kita ingin kembali ke masa lalu, dimana kita bisa menentukan kembali apa yang akan kita pilih. Tetapi hal itu tentu tidak mungkin terjadi bukan? Yang tetap terjadi adalah waktu terus berjalan kedepan, matahari tetap beredar menciptakan perubahan hari, dan detak jantung kita terus berdegup pertanda kehidupan kita belum usai.

Satu hal yang aku selalu coba untuk pahami dan menurutku sangat dalam maknanya, sederhana, tetapi juga terkadang kudu diputar terus di dalam otak agar tidak pernah lupa. Hal itu adalah perkataan “Semua pasti ada hikmahnya, bersyukurlah atas apa yang telah kau dapat”. Sering aku dengar, sangat sering malah. Mungkin karena terlalu sering ku dengar maka hal tersebut menjadi sesuatu yang biasa, tidak spesial. Seperti orang yang setiap hari makan tempe akan berkata bosan akan tempe, hingga tidak sadar bahwa dengan tempe tersebut dia memperoleh banyak manfaat dan dapat terus hidup. Jadi teringat dengan filosofi orang Jawa, “Nrimo”, yang artinya menerima atas apa yang kita dapat. Dulu aku sering beranggapan kalau perkataan itu adalah pesimisme orang-orang tua, namun lambat laun aku mulai memahami apa itu nrimo. Apa yang telah kita raih meskipun hal tersebut tidak sesuai keinginan tentu harus kita terima terlebih dahulu. Apakah orang yang lahir di sebuah kota kecil yang minim fasilitas menjadikan dia tidak terima karena itu? tentu tidak bukan. Tetapi tentunya tidak asal menerima, karena semangat menjadi pribadi yang lebih baik harus tetap hadir di diri seorang manusia. Harapan harus tetap tumbuh, terus memberikan yang terbaik sembari berdoa tentunya.

Sebenarnya tulisan ini hanya sebagai pengingat buat aku, karena perkataan syukur itu sangat mudah diucapkan, tetapi sungguh hal tersebut sangat sulit untuk dilakukan. Banyak sekali godaan-godaan yang membuat rasa syukur yang perlahan hadir kemudian menjadi hilang, bahkan karena hal-hal sepele. Yah, memang begitulah manusia. hahaha

Tana Toraja, Land of Heavenly King (2)

Tilanga
Tilanga

Aku memacu motor menuju Tilanga. Sedikit berbeda dengan ciri khas Tana Toraja yang identik dengan makam batu dan Tongkonannya, Tilanga adalah sebuah kolam yang penuh dengan kemisterian. Katanya di kolam tersebut ada belut yang jika kita bisa melihatnya maka kita termasuk orang yang beruntung. Aku sebenarnya ketika mengunjungi tempat ini tidak mengetahui akan cerita tersebut. Aku hanya diberitahu oleh seseorang yang kutanya tentang destinasi selanjutnya yang terdekat setelah Kete Kesu, dan dijawablah Londa dan Tilanga. Tetapi karena jalan menuju Londa saat itu sedang diperbaiki maka jadilah aku menuju Tilanga.

Dan sekali lagi aku mungkin terlalu pagi mengunjungi tempat ini. Loket karcis belum dibuga dan tidak ada orang di sana. Namun kolam Tilanga sudah dapat terlihat dari jauh. Kolam air yang dibatasi oleh tebing batu serta hutan bambu yang sangat rindang membuat suasana sangat tenang. Sangat sebentar aku berada di sini. Mau berenang agak sedikit takut karena belum membayar tiket dan sepinya lingkungan sekitar. Aku hanya mengambil beberapa gambar sebagai kenangan.

Ketika menuju motor aku melihat seorang anak wanita sedang menyapu jalanan kemudian aku mencoba bertanya kepadanya. Aku ingin menuju Lemo, sebuah kuburan batu lainnya. Dia kemudian menyarankan untuk terus saja mengikuti jalan alih-alih berbalik arah dan melewati jalan utama. Katanya jalan tersebut merupakan jalan pintas dan yang paling dekat namun jalannya sudah agak rusak. Baiklah, aku akan mencobanya.

Aku bawa motorku berjalan lurus mengikuti jalan. Dan memang benar apa yang dikatakan gadis itu, jalannya sungguh rusak. Jalan menurun tajam disertai jalan berbatu membuatku harus ekstra hati-hati. Sedikit terpeleset sungguh sangat merepotkan karena aku jauh dari penduduk sekitar. Namun syukurlah cobaan jalan yang rusak dan menurun tajam berakhir ketika memasuki kompleks persawahan warga. Aktivitas warga mulai terlihat. Oleh karena ini adalah hari minggu maka aku melihat banyak sekali warga yang berpakaian rapi berjalan menuju ke gereja.         

Ternyata perjalanan menuju Lemo cukup singkat, mungkin hanya sekitar 15 menit. Di Lemo aku sedikit bingung karena tidak kutemui kuburan batu di sana, tapi setelah melihat lebih luas lagi ternyata kuburan batunya berada di seberang sawah. Jadi kita harus menuruni tangga terlebih dahulu kemudian berjalan menyusuri sawah. Dari tempat parkir juga telah terlihat meskipun kecil.

Aku berada di Lemo tidak begitu lama karena aktifitas yang bisa dilakukan di sana hanya melihat pemandangan yang ada dan mengambil beberapa foto. Kemudian aku memutuskan untuk melanjutkan perjalanan menuju Batutumonga. Menuju ke sana katanya jaraknya lumayan jauh, namun karena hari masih belum begitu siang aku memutuskan untuk mencoba menuju ke sana. Kata orang sih Batutumonga itu desa di atas awan. Letaknya di utara Toraja dan berada di daerah pegunungan yang sangat indah.

Menuju Batutumonga aku harus banyak bertanya ke orang-orang jika menemukan persimpangan jalan karena papan penunjuk arah yang masih sedikit. Jalan dari Rantepao masih mulus, namun ketika memasuki pedesaan dan persawahan jalan sudah mulai agak rusak. Jalan yang bolong dan berbatu menemani perjalananku kali ini.

Ternyata jarak yang aku tempuh tidak selama yang aku bayangkan. Hari masih belum begitu siang begitu aku memasuki daerah Batutumonga. Dan benar saja, pemandangan yang aku lihat di sini sungguh indah. Mungkin kalau aku datangnya pagi-pagi benar pasti lebih indah lagi karena dapat menyaksikan matahari terbit dan kabut yang menyelimuti. Di Batutumonga juga terdapat kubur batu yang menjadi ciri khas Tana Toraja. Yang lebih unik menurutku kubur batu di Batutumonga adalah terdapat kubur batu yang dibuat di batu besar di pinggir jalan, bukan di atas tebing.

Pemandangan Tana Toraja dari Batutumonga
Pemandangan Tana Toraja dari Batutumonga
Pemandangan di Batutumonga
Pemandangan di Batutumonga
Kubur Batu di Batutumonga
Kubur Batu di Batutumonga
Situs Batu
Situs Batu

Setelah puas berkeliling Batutumonga aku kemudian kembali ke Rantepao untuk berkeliling kota dan mencari barang souvenir. Souvenir dari Toraja sangat beragam, seperti kain tenun, ukir kayu, kaos, gantungan kunci, dsb. Namun ada yang mengecewakan di sini. Ketika aku mengobrol dengan seorang pedagang ternyata barang-barang souvenir tersebut diproduksi di Pulau Jawa, terutama kaos. Kain tenunpun ternyata juga ada yang diproduksi di Jawa sehingga harganya dapat jauh ditekan. Kain tenun asli Toraja tentu sangat mahal harganya, dari ratusan ribu hingga jutaan rupiah.

Sore harinya aku kembali ke agen bus untuk membeli tiket bus ke Makassar. Ternyata jadwal berangkat juga sama jam 19.30 WITA. Sambil menunggu bus berangkat malam harinya aku kembali berkeliling kota hingga menjelang maghrib. Setelah mengembalikan motor ke tempat persewaan aku kemudian berjalan dan menunggu di alun-alun kota dimana banyak masyarakat yang melakukan aktivitas seperti bermain bola dan berjalan santai. Saat maghrib aku melaksanakan sholat di masjid yang tidak jauh dari alun-alun itu. Cukup berjalan saja karena kota Rantepao sangat mungil. Aku juga menyempatkan mencari makan malam, dan aku memutuskan untuk mencoba sate Madura. Ternyata penjualnya benar berasal dari Madura, sepasang suami istri yang sudah kakek nenek. Sempat aku mengobrol dengan mereka dan tiba-tiba hujan deras mulai turun. Untunglah aku membawa payung sehingga untuk kembali ke agen bus tidak menjadi masalah. Pukul 19.30 WITA tepat bus berangkat dan berakhirlah perjalananku di Tanah Para Raja ini.

Tana Toraja, Land of Heavenly King (1)

Image

Tanah Para Raja, The Land of Heavenly King, itulah sebutannya. Sebuah tempat yang menyimpan beragam kisah dan misteri yang mendorong orang untuk mengunjunginya, termasuk diriku ini. Kata orang, di sana kamu bisa melihat kuburan paling unik di dunia. Orang-orang yang sudah meninggal disemayamkan di atas tebing-tebing menjulang tinggi, hingga menjadi tengkorak dan habis daging di raga. Di sana kamu juga menyaksikan bagaimana seekor kerbau mempunyai nilai yang sama dengan sebuah mobil mewah berharga ratusan juta. Di sana pula kamu bisa merasakan keramahtamahan orang-orangnya yang sangat menjunjung arti persaudaraan bercampur dengan keindahan alam yang luar biasa menakjubkan.

Dari Makassar aku mencoba mencari transport ke Toraja, dan yang aku pilih adalah menaiki bus malam. Kebetulan terdapat sebuah agen bus malam yang dekat dengan tempat tinggalku, Bus Liman namanya. Meskipun kurang direkomendasikan oleh orang-orang karena harganya yang tidak sebanding dengan fasilitasnya namun aku tetap memilih bus tersebut karena aksesnya sangat dekat.

Bus berangkat sekitar pukul 19.30 WITA dan syukurlah berangkat tepat waktu. Bus malam yang aku naiki ini menuju tujuan akhir Rantepao. Oh ya, dalam perjalanan kali ini aku melakukannya seorang diri alias solo trip. Bus berangkat dengan laju lumayan tinggi karena di malam hari sangat jarang kendaraan lain yang lewat, tetapi minusnya kita tidak bisa melihat pemandangan sekitar. Kabarnya kalau berangkat di pagi hari kita bisa melihat pemndangan Gunung Nona. Mengapa disebut Gunung Nona, silakan tebak sendiri. Pikiran yang agak keruh pasti sangat cepat mengerti.

Bus sempat sekali berhenti di tengah perjalanan. Entahlah di daerah apa aku berada sekarang. Bus berhenti di pinggir jalan yang sangat sempit, kukira hanya cukup muat satu bus besar. Di sana terdapat warung-warung yang menjajakan makanan tradisional khas Sulawesi Selatan entah aku tidak begitu tahu namanya.

Subuh-subuh bus sudah memasuki gerbang Kabupaten Toraja yang dihiasi hiasan rumah Tongkonan, rumah adat dari Toraja. Sampai Makale, ibukota kabupaten Toraja, banyak penumpang yang turun, tetapi tujuanku turun di pemberhentian terakhir Rantepao. Oh ya karena hari itu bertepatan dengan hari minggu, banyak orang yang memanfaatkannya untuk berjalan-jalan di kota. Banyak anak kecil yang berkelompok berjalan menuju pusat kota.

Tiba di Rantepao sekitar pukul 5.30 WITA dan aku bingung harus memulai dari mana. Aku mencoba tenang dan menyempatkan ke kamar mandi untuk membasuh muka dan menggosok gigi. Tidak usah terburu-buru pikirku, nanti toh pasti ada titik terang. Selesai bersih diri aku mencoba duduk di depan agen bus dan bercakap-cakap dengan sopir bus tadi. Aku bertanya di manakah dapat menyewa motor dan bagaimana menuju tempat-tempat wisata di Toraja. Syukurlah sopir bus ini sangat baik. Dia bahkan membantuku mencari Bentor yang akan membawaku ke tempat sewa motor.

Dari tukang bentor aku juga mendapat informasi tempat menyewa motor yang lebih murah dibanding tempat sewa motor lainnya. Karena hari masih sangat pagi, sesampai di tempat sewa motor ternyata pemiliknya masih belum bangun. Jadilah aku mengetok-ngetok pintu dulu sebelum akhirnya bisa menyewa motor. Sebenarnya kalau mau berjalan tidak begitu jauh dari agen bus Liman, tapi karena baru pertama kali kesini dan tidak tahu medan tentu bantuan sopir bentor sangat membantu.

Tujuan pertamaku adalah desa Kete Kesu. Jalan menuju ke sana sangat mudah dari Rantepao. Aku sesekali bertanya pada orang-orang kalau saja aku terlewat. Mendekati Kete Kesu terdapat plang penanda yang lumayan besar. Kete Kesu konon katanya usianya sudah ratusan tahun. Rumah-rumah Tongkonan berjejer rapi di samping sawah yang hijau. Ketika aku memasuki kompleks desa seharusnya aku membayar karcis masuk, tetapi karena masih terlalu pagi akhirnya kau dapat memasuki kompleks desa secara gratis. Seorang ibu terlihat mulai membuka toko souvenir dan menyapu halamannya. Aku mencoba menyapanya, bertanya sedikit tentang kompleks desa ini, melihat-lohat tokonya yang menjual aneka kerajinan pahat dan ukir kayu. Beberapa anjing terlihat berkeliaran di jalanan antara rumah-rumah Tongkonan.

Image

Image

Image

Tidak begitu jauh dari kompleks Tongkonan, aku berjalan ke arah hutan bambu yang lumayan lebat. Di sana katanya ada kuburan batu yang aku cari. Sungguh antusias aku berjalan sekaligus sedikit ngeri karena aku hanya seorang diri. Anjing-anjing jinak yang sedang bermain aku lewati dengan sedikit gemetaran. Hingga sampailah aku pada berbagai macam bangunan rumah yang menurutku sangat kecil kalau dibuat tidur orang yang masih hidup, maka aku berkesimpulan bahwa itu adalah persemayaman bagi mereka yang sudah mati. Foto-foto mereka yang telah menghadap Yang Memberi Kehidupan terpampang di atas pintu masuk.

Sedikit menaiki tangga di samping tebing pemandangan lebih menyeramkan terlihat. Tengkorak manusia berjejer tanpa mengenal kesopanan sehingga pengunjung dapat bergidik ketakutan memandangnya. Dinding-dinding tebing batu dilubangi membentuk ruang persegi panjang tempat meletakkan jenazah. Patung-patung kayu berbentuk manusia juga menghiasi makam-makam batu tersebut. Angin sesekali berhembus membuat daun-daun bambu bergoyang. Makin jauh melangkah aku menemukan sebuah gua yang isinya penuh dengan foto-foto mereka yang meninggal, barang-barang kesayangan mereka, serta tulang belulang mereka. Ah, suasana semakin mencekam saja. Aku putuskan untuk berbalik arah. Aku menuju destinasi selanjutnya.

(Berlanjut)

 

Arti Sebuah Perjalanan

Image

Perjalananku bukan perjalananmu, tapi perjalananku adalah perjalananmu. Masing-masing kita punya kisah Safarnama sendiri-sendiri, tapi hakikat semua Safarnama itu adalah sama.

Perjalanan adalah belajar melihat dunia luar, juga belajar untuk melihat ke dalam diri. Pulang memang adalah jalan yang harus dijalanani semua pejalan. Dari titik nol kita berangkat, kepada titik nol kita kembali. Tiada kisah cinta yang tak berbubuh noktah, tiada pesta yang tanpa bubar, tiada pertemuan yang tanpa perpisahan, tiada perjalanan yang tanpa pulang.

Perjalanan, oh, perjalanan… siapa yang benar-benar tahu ke mana kaki ini akan melangkah?

Aku pulang.

Itulah Safarnama. Inilah perjalanan. Inilah hidup.

C’est la vie.

~~~

(Dicuil dari karya Agustinus Wibowo, “Titik Nol”)

Moluccas: Bagian Terakhir

Inilah salah satu sisi yang aku temukan di Indonesia. Kondisi yang jauh dari hiruk pikuk kota, daerah yang dipenuhi banyak misteri di hutan-hutan terdalamnya, daerah yang senantiasa terdengar debur ombak dari lautan dalam, tanah yang menjadi rebutan para penjajah karena kesuburannya.

Ibukota Kabupaten Maluku Tengah adalah kota Masohi, dan aku menyempatkan untuk datang ke kota ini. Dari Awaya harus menempuh perjalanan sekitar satu jam menggunakan mobil diantara kegelapan. Sesekali melewati lampu-lampu yang berasal dari rumah penduduk dan kemudian terlihat kegelapan lagi. Sesampainya di Masohi kami mencari tempat fotokopi karena ada beberapa dokumen yang harus di kopi. Di Awaya tidak terdapat tempat fotokopi dan jikalau ada orang yang membuka jasa fotokopian mungkin bisa dipastikan orang tersebut benar-benar tidak mencari untung. Tempat fotokopi sangat langka di Pulau Seram, dan kalau mau fotokopi orang dari Awaya ya musti ke Masohi. Sembari menunggu hasil fotokopi kami menuju rumah makan untuk makan malam, dan sudah dapat kutebak sajian andalannya itu ikan, ikan, dan ikan.

Esok harinya kami harus meninggalkan Pulau Seram untuk menuju Ambon dikarenakan pekerjaan yang sudah selesai. Di Ambon kami akan menginap sehari kemudian melanjutkan perjalanan menuju Makassar. Meninggalkan Awaya sekitar pukul 2 siang karena di pagi harinya masih ada pekerjaan yang masih harus kami selesaikan.

Karena baru berangkat siang kami tidak bisa menggunakan kapal cepat dan jadilah transportasi kapal feri kembali digunakan untuk menyeberang ke Pulau Ambon. Tapi aku bersyukur menaiki kapal feri karena ketika menyeberang waktu sudah sore hari menjelang maghrib. Tentu saja pemandangan matahari terbenam adalah sajiannya. Jarang-jarang melihat matahari terbenam dari atas kapal feri seperti ini. Keindahan yang luar biasa dari matahari terbenam Maluku ini sudah tidak diragukan lagi. Sayang cuma bisa mengabadikannya lewat kamera handphone.

Matahari terbenam dari atas feri
Matahari terbenam dari atas feri
Papan Nama Pelabuhan Waipirit
Papan Nama Pelabuhan Waipirit
Suasana di Atas Feri
Suasana di Atas Feri

Setiba di Ambon kami langsung menuju hotel untuk bermalam. Kami sempatkan untuk berjalan-jalan keliling kota Ambon sekedar mencari cenderamata. Yang sangat terkenal dari Maluku katanya adalah minyak kayu putihnya. Minyak kayu putih asal Pulau Buru jauh lebih berkhasiat dibanding dengan minyak kayu putih biasa yang dijual di pasaran. Selain itu banyak pula ditemukan pernak-pernik lain seperti kerajinan besi putih, mutiara, ukiran kayu, dan lain-lain.

Di Ambon kebetulan ada seorang teman SMA ku yang sedang menjalankan tugas sebagai abdi negara, Donayasa namanya. Dia kebetulan mendapatkan penugasan di Ambon dan sudah lumayan lama di sana. Aku mencoba menghubunginya untuk bertemu namun dia baru ada waktu sekitar jam 12 tengah malam. Dia menemuiku di hotel lewat tengah malam, sebuah kejutan karena sudah lama kami tidak bertemu. Terakhir bertemu kira-kira ketika kelulusan SMA.

Di Lapangan Merdeka
Di Lapangan Merdeka
Sudut Kota
Sudut Kota

 

Bandara Pattimura
Bandara Pattimura

Aku diajaknya keliling kota Ambon menikmati suasana malam yang sepi. Namun di beberapa tempat karaoke masih terlihat keramaian orang-orang. Kami menuju Lapangan Merdeka yang berada di tengah kota. Melihat tulisan Ambon Manise di tengah lapangan dan mengunjungi Gong Perdamaian Dunia. Ketika akan mengunjungi Gong Perdamaian pintu pagar sudah ditutup karena waktu sudah malam, tapi karena pagarnya tidak begitu tinggi jadilah kami melompatinya dan dapat berfoto di depan gong.

Kami kemudian ngopi di sebuah tempat yang namanya Pantai Losari. Aku sempat bingung karena Pantai Losari terdapat di Makassar tapi ternyata di Ambon juga ada tempat yang namanya Pantai Losari. Kota Ambon sangat indah dan dikelilingi perbukitan. Kita bisa melihat lampu-lampu berkelip dari rumah-rumah penduduk yang ada di atas bukit dan juga pasti sangat indah kalau melihat lampu-lampu kota. Setelah kopi habis aku mengajak Dona untuk menuju ke atas bukit, melihat lampu-lampu kota.

Kota Ambon malam hari dilihat dari atas sangat menakjubkan. Lampu-lampu di bawah seperti refleksi bintang yang sangat dekat dengan kita. Mungkin kalau pas tahun baru ataupun perayaan-perayaan lainnya yang menampilkan pertunjukan kembang api pasti akan terlihat sangat indah dari sini.

Kami berada di sana sampai pukul 4.30 WIT dan kemudian aku memutuskan untuk kembali ke hotel karena Dona juga harus kembali ke pekerjaanya. Jadilah kami meninggalkan bukit entah apa namanya saat adzan subuh berkumandang. Lumayanlah pengalaman begadang di kota Ambon kali ini. Kami pun mengakhiri pertemuan kali ini di hotel.

Kegiatanku bersama tim di hari itu adalah berkeliling Kota Ambon sekalian mencari oleh-oleh lagi kemudian langsung menuju Bandara Pattimura untuk kembali ke Makassar. Inilah hari terakhir aku berada di Provinsi Maluku dan tentu saja banyak kenangan dan pelajaran yang aku bawa dari sini. Terima kasih Moluccas.

 

Moluccas: Sholat Jumat

Pengalaman menarik terjadi ketika kami harus menjalankan ibadah Sholat Jumat. Kebetulan hari itu tepat pada hari Jumat sehingga kami yang beragama Islam berkewajiban menjalankan ibadah Sholat Jumat. Di Awaya yang mayoritas penduduknya beraga kristen sangat sulit menemukan masjid. Masjid yang ada letaknya sangat jauh dan harus memakai kendaraan bermotor untuk mencapainya.

Untunglah telah disediakan fasilitas mobil sehingga kami yang muslim dapat pergi untuk menjalankan Sholat Jumat. Masjid yang menjadi tujuan kami terletak di Desa Liang. Di desa ini mayoritas penduduknya beragama Islam dan di sini dekat dengan markas TNI. Dan berkat jasa TNI inilah berdiri sebuah masjid yang dapat dibilang satu-satunya di sekitar sana. Baca lebih lanjut

Moluccas – Pulau Seram

Akhirnya aku telah merasakan tiga zona waktu Indonesia, WIB, WITA, dan WIT. 

Pukul 09.00 pesawat Sriwijaya Air terbang membawaku meninggalkan Bandara Sultan Hasanudin Makassar menuju suatu tempat yang belum pernah aku bayangkan sebelumnya untuk didatangi. Yap, aku menuju ke sebuah pulau yang jika hanya mendengar namanya mungkin akan terbayang sesuatu yang menakutkan, yaitu Pulau Seram.

Bandara Internasional Sultan Hasanudin
Bandara Internasional Sultan Hasanudin

Untuk menuju Pulau Seram, terlebih dahulu pesawat yang aku tumpangi mendarat di Bandara Pattimura, yang berada di Pulau Ambon. Di sana sudah ada orang dari kantor yang menjemput, Pak Mail namanya. Orangnya tinggi dan ternyata beliau berasal dari Palembang namun sudah betah tinggal di Maluku. Baca lebih lanjut

Menuju Beteleme

Perjalanan menuju Beteleme katanya paling asik saat melintasi Danau Matano, danau terdalam di Asia Tenggara. Dari Burau, kabupaten Luwu kami pagi-pagi sekali sehabis sholat subuh langsung berangkat menaiki Inova yang dikendarai sopir paling handal yang pernah kutemui, Pak Arfa. Melintasi jalan lintas Sulawesi kami disuguhkan pemandangan super eksotis.

Kebun sawit terdapat di sepanjang perjalanan awal. Rata-rata penduduk di sini memiliki kebun sawit sendiri, barang satu atau dua hektar. Kabut masih terlihat cukup tebal terutama menyelimuti gunung-gunung  yang aku tak tahu namanya. Mobil melaju dengan lancar karena jalan lintas Sulawesi ini sudah terbangun mulus dan sangat jarang mobil lain yang lewat. Jalan mulus ini katanya disokong oleh PT Inco, perusahaan tambang nikel yang berada di kota Sorowako, tepat berada di tepi danau Matano. Baca lebih lanjut

Keluarga Baru Di Pulau Lombok

Perjalanan ini tidak bisa ditebak, diluar rencana, dan penuh kejutan.

Kala itu aku merasa harus mewujudkan salah satu impianku, setidaknya aku ingin menggapainya sebelum aku diwisuda. Mimpiku tersebut adalah mengunjungi Gunung Rinjani. Aku mencoba menghubungi beberapa teman, namun sepertinya mereka telah memiliki kegiatan masing-masing sehingga aku belum mempunyai teman jalan, hingga aku menghubungi Hario. Sebuah kejutan, ternyata dia mau ikut. Akhirnya Jadilah aku akan ergi berama dia yang juga mengajak temannya dari Surabaya dan memiliki teman yang berada di Lombok.

Awal Oktober aku yang saat itu berada di Jakarta harus mengikuti Yudisium untuk dinyatakan lulus dari kuliahku. Perasaan khawatir muncul karena dengan jadwal yang telah dibuat aku berangkat ke Lombok tanggal 10 Oktober malam. Aku yang di yudisium tanggal 8 Oktober harus bergegas untuk menuju stasiun Pasar Senen karena kereta yang akan membawaku ke Jawa Timur akan berangkat jam 16.00. Untunglah semua berjalan sesuai rencana meskipun harus tergesa-gesa karena diburu waktu. Tanggal 9 Oktober siang aku sampai di rumah. Aku hanya bisa beristirahat sebentar karena harus segera menyiapkan peralatan untuk menuju Rinjani seperti tenda, matras, dan lain-lain.

Ngegembel di Padang Bai
Ngegembel di Padang Bai

Aku janjian dengan Hario di terminal Jember karena posisiku yang berada di Bondowoso sedangkan Hario dkk berada di Surabaya. Akhirnya sekitar pukul 01.00 tanggal 11 Oktober bus yang ditumpangi Hario dan dua temannya yang bernama Rama dan Dio datang juga. Akhirnya akupun naik bus itu, dan karena malam hari bus tersebut ngetem sangat lama dan baru berangkat sekitar pukul 3.00. Tiba di Banyuwangi sekitar pukul 7 pagi dan langsung menuju pelabuhan Ketapang. Sekitar 30 menit akhirnya sampai di Bali dan kita bingung akan naik apa ke Padang Bai karena bus yang menghubungkan Gilimanuk-Padang Bai telah habis. Akhirnya kita memilih bus jurusan Denpasar dan estafet menuju pelabuhan Padang Bai. Untuk urusan transportasi kita harus berjibaku dengan para calo dan tawar menawar agar mendapatkan potongan harga. Setelah berjam-jam di atas mobil, akhirnya sekitar pukul 4 sore kita tiba di pelabuhan Padang Bai. Perjalanan dengan Kapal Ferry ke Pulau Lombok ditempuh sekitar 4 jam, dan sekitar pukul 20.00 WITA akhirnya untuk pertama kalinya kita menginjakkan kaki di tanah Lombok.

Kita harus menuju kota Praya untuk menuju ke rumah teman Hario. Di Praya kita dijemput oleh teman Hario yang bernama Mas Herman. Sesampai di rumah Mas Herman kita disambut oleh keluarganya yang ternyata akan ikut juga dengan kita menuju Rinjani. Katanya mereka mau berobat. Aku yang belum tahu apa-apa hanya mengiyakan saja. Sebuah kejutan bagi kami. Keluarga mas Herman yang asli Suku Sasak sering berbicara dengan bahasa daerah Sasak sehingga kami hanya bisa bengong ketika mereka berbicara bahasa Sasak. Dan yang lebih mengejutkan lagi, salah satu anggota tim yang akan berangkat ke Rinjani dari keluarga mas Herman adalah seorang pak tua yang berumur lebih dari 80 tahun, kakek dari mas Herman.

Malam itu kami menginap semalam di rumah mas Herman dan keesokan harinya berangkat menuju Gunung Rinjani. Kami menaiki mobil pickup yang telah dimodifikasi menjadi angkot. Entah apa sebutannya. Awalnya kami mengira akan menuju pos Senaru sebagai titik awal pendakian karena biasanya para pendaki umumnya melalui jalur Sembalun atau Senaru. Ternyata kami salah, mereka membawa kita menempuh jalur Torean, jalur yang biasanya dipakai oleh penduduk lokal yang akan beribadah atau memancing di danau Segara Anak.

Kami terlebih dahulu menuju salah seorang kenalan Pak Tua yang akan menjadi guide kami selama perjalanan. Namanya Mas Latip. Dia telah berkali-kali naik turun Rinjani, ibaratnya juru kuncinya lah. Semua diluar dugaan, mendaki dengan penduduk lokal baru kali ini aku alami. Peralatan yang mereka bawa juga sangat sederhana. Tidak ada yang namanya tenda dome, kompor portable, dan peralatan lainnya. Mereka hanya membawa terpal dan panci buat masak. Beras dan mie menjadi makanan kita nanti. Tidak ada carrier diantara kita termasuk kami. Beberapa membawa ransel dan pak tua hanya bermodalkan tas kresek untuk membawa barangnya. Beristirahat sebentar untuk makan siang dan sholat, kami akhirnya berangkat sore harinya, tanggal 12 Oktober 2013.

ImageJalur Torean memang tidak populer di kalangan pendaki karena bukan jalur resmi dari pihak Taman Nasional Gunung Rinjani. Sebenarnya jika diukur dari jarak tempuhnya, jalur Torean adalah jalur yang paling pendek, tetapi mungkin karena jalur ini sering terjadi longsor dan di beberapa titik sangat curam maka jalur ini tidak dibuat jalur resmi.

Pemandangan di Jalur ini sangat indah dan banyak terdapat sumber mata air. Air terjun penimbung dari aliran sungai Koko Putih dapat dilihat dari kejauhan, Sungai Koko Putih adalah sungai campuran air tawar dan air belerang dan dari Jalur Torean ini kita bisa lihat proses bertemunya kedua air tersebut dari atas tebing.

ImageDi awal perjalanan kita menyusuri pipa air yang sengaja dipasang untuk menyalurkan air bersih dari atas gunung ke masyarakat di bawah. Karena bukan jalur resmi TNGR maka tidak terdapat petunjuk arah di sana. Jalurnya sebenarnya sudah jelas karena sering dilalui oleh masyarakat lokal, tetapi setelah sampai di sungai Koko Putih mungkin kita yang belum pernah kesana akan merasa bingung karena setelah kita menyeberangi sungai tersebut jalur tidak terlihat dengan jelas.

Perjalanan sempat terhambat karena beberapa anggota tim merasa kelelahan dan semppat hampir terjatuh ke jurang termasuk aku. Suasana mistis mulai terasa di Rinjani ketika hari mulai beranjak malam. Belum sampai di tujuan kita berkemah yaitu sumber air panas Goa Susu tetapi malam mulai menghadang. Jadilah kita harus berjalan ekstra hati-hati karena di beberapa tempat rawan longsor. Beberapa titik terdapat tangga untuk membantu kita naik karena memang berupa tebing 90 derajat. Aku hampir saja masuk ke jurang ketika melewati pohon tumbang tetapi alhamdulillah tidak sampai jatuh terlalu dalam karena tertahan oleh semak dan pohon itu sendiri.

ImageImageImageImageAkhirnya setelah menempuh perjalanan yang sangat melelahkan, kami tiba di Goa Susu. Ternyata di sana sudah ada rombongan lain yang bertujuan untuk beribadah. Entah ritual apa yang mereka lakukan, aku hanya melihatnya saja. Kami langsung membangun tenda untuk tempat berteduh kami. Beberapa teman langsung menceburkan diri ke kolam air panas yang tersedia di sini. Banyak kolam yang tersedia di sini dan kabarnya terdapat ritual mandi di kolam air panas dengan urutan tertentu guna kepentingan kesehatan atau tujuan tertentu. Aku hanya menceburkan kaki saja dan memilih untuk langsung tidur.ImageImageKeesokan harinya aku mencoba untuk masuk ke Goa Susu dan mandi di pancuran di dalam Goa. Lumayan panas airnya namun tidak sampai melepuhkan kulit. Enak sekali rasanya, apalagi setelah menempuh perjalanan yang begitu melelahkan. Sebenarnya jika ditelusuri lebih jauh masuk ke dalam Goa, kita akan menemukan kolam air panas lagi. Namun karena kondisi sangat gelap dan tidak membawa senter akhirnya aku urungkan niatku untuk masuk. Terlebih lagi kondisi udara di dalam Goa yang minim oksigen.

Setelah puas mandi di air panas akhirnya kita melanjutkan perjalanan menuju Danau Segara Anak. Letaknya cukup dekat dari Goa Susu, kalau berjalan cepat sekitar 15 menit sudah sampai. Tidak semua anggota tim yang ikut, beberapa mungkin terlalu capek sehingga memutuskan untuk tidak ikut. Kami mulai berjalan, tapi belum sempat berjalan jauh, rintangan yang lumayan mengerikan terlihat di depan mata. Tebing 90 derajat harus didaki terlebih dahulu.

Sebenarnya cukup mudah menaiki tebing tersebut karena telah terdapat cekungan sebagai tempat bertumpu kita, namun dibutuhkan keberanian melawan takut akan ketinggian. Hal itulah yang terjadi pada Rama. Dia tidak bisa melanjutkan untuk naik karena menurut pengakuannya dia takut akan ketinggian dan kemudian dia menjelaskan bahwa sebenarnya terdapat makhluk gaib yang menahannya agar jangan naik. Entahlah, aku hanya mengiyakan saja.

Jadinya tinggal aku, Hario, Dio, Mas Latip, Mas Herman, dan satu lagi keluarga Mas Herman. Dio berjalan agak lambat karena kecapaian, jadilah aku dan Mas Latip setia menemaninya sedangkan mas Herman dan yang lainnya sepertinya tidak sabar untuk mencapai Segara Anak. Setelah beberapa saat kami berjalan akhirnya perlahan-lahan pemandangan Segara Anak muncul di hadapan mata. Layaknya anak kecil yang baru bertemu mainan baru, aku langsung girang melihat pemandangan itu dan langsung memperceat langkahku. Hario ternyata sudah banyak mengambil foto dan langsung mengajak berfoto narsis.

ImageDi Segara Anak telah banyak orang yang datang. Mereka umumnya datang dari Jalur Senaru dan Sembalun, jalur yang biasa dipakai oleh para pendaki. Beberapa bule terlihat di tendanya, bahkan ada bule yang berenang di sana. Mas Latip sudah beraksi dengan pancingnya, berharap mendapatkan beberapa ikan untuk menu makan siang agar tidak makan mie instan melulu. Aku, Hario, Dio, dan Mas Herman mulai menjelajahi tepian danau dan berfoto pastinya.

ImageImageImage

Hari sudah beranjak siang, tak terasa waktu berjalan sementara kami tertegun dengan keindahan alam didepan mata. Berdiskusi tentang kehidupan di antara semilir angin danau merupakan obat kami dalam mengisi kesunyian. Mereka yang memancing ternyata kurang beruntung dalam momen kali ini. Mereka hanya membawa sedikit ikan yang ukurannya kecil, tapi masih ada satu yang besar. Akhirnya kami kembali ke tempat kemah untuk memasak ikan kami dan selanjutnya melanjutkan perjalanan pulang.

Saat pulang, tentu kami harus melewati tebing yang kita lalui sebelumnya. Dan pada saat menuruni tebing adalah saat yang lebih menakutkan. Tapi syukurlah kami dapat melaluinya dengan selamat. Setelah tiba di tenda, ikan yang kami bawa langsung dibersihkan dan dimasak.

Setelah makan sekitar pukul 14.00 kami akhirnya mulai membereskan peralatan untuk kembali pulang. Rencananya kami menginap semalam di tengah perjalanan. Perjalanan pulang ternyata membawa cerita tersendiri, terutama dalam hal mistis. Pada saat menjelang maghrib, tiba-tiba mas Latip menyuruh kami untuk mempercepat langkah. Katanya dibelakang kami ada makhluk lain. Entahlah aku kurang mengerti hal yang seperti itu. Tapi syukurlah semua berjalan dengan selamat dan seluruh tim dapat berkumpul dan membangun tenda untuk bermalam.

Esoknya kami melanjutkan perjalanan turun. Jalur yang kami tempuh sama dengan jalur berangkat. Pak Tua sempat beberapa kali tidak kuat berjalan dan harus digendong oleh anaknya, dan Alhamdulillah Pak Tua sampai dengan selamat di bawah termasuk kami semua.

Image

Image

Akhirnya setelah menunggu mobil jemputan tiba kami langsung menuju rumah mas Latip untuk sholat, membersihkan diri, dan makan. Kami langsung melanjutkan pulang ke Praya malam itu juga karena rencana esoknya kami berempat harus kembali ke Jawa. Sekitar tengah malam kami telah tiba di rumah Mas Herman.

Esoknya kami menuju Mataram dengan naik taksi karena bus yang menuju ke Jawa akan berangkat pukul 11.00. Kami memlih naik bus cepat karena kondisi kami yang sudah capai. Pukul 11.00 lebih bus berangkat meninggalkan Mataram, meninggalkan Lombok, membawa kenangan kami bersama Rinjani. Aku sampai di Situbondo sekitar pukul 2.00 dan aku harus bermalam sebentar di terminal Situbondo hingga angkutan yang membawaku ke Bondowoso ada.

Terima kasih buat keluarga di Lombok, semoga kita bisa bertemu lagi.