Sukabumi: Saatnya Kembali Pulang

Satu malam lagi kami menginap di rumah Indra, dan sekali lagi kami membuat repot mereka. Setelah pulang dari air terjun Cibeureum, kami memutuskan untuk beristirahat saja di rumah Indra karena badan terasa sangat lelah. Aku tiba-tiba saja merasakan gejala pilek, dan untunglah ibu Indra banyak mengerti soal obat-obatan sehingga aku langsung diberi obat saat itu dan dilarang untuk mandi sore. Malam harinya kami menghabiskan waktu dengan bermain UNO dan lebih banyak tertawa karena kebodohan-kebodohan yang dilakukan.

Esok harinya kami sekali lagi disambut oleh cuaca dingin Sukabumi di pagi hari. Karena kereta kami jadwalnya berangkat sore hari maka kami tidak begitu terburu-buru. Kami memutuskan untuk berangkat setelah sholat dhuhur dan sekalian membeli oleh-oleh khas Sukabumi yaitu kue Mochi.

Selepas dhuhur kamipun berangkat meninggalkan rumah Indra dengan menggunakan angkot. Tetapi sebelum itu kami tidak lupa untuk berfoto bersama di depan rumah Indra dan mengucapkan banyak terima kasih kepada orang tuanya.

Sebelum menuju stasiun, kami membeli Kue Mochi di salah satu toko yang sepertinya adalah toko mochi yang katanya yang paling enak di Sukabumi. Kami yang bukan berasal dari Sukabumi sih percaya saja. Kue mochi adalah kue yang terbuat dari tepung beras dan tepung beras ketan dengan isian kacang tanah. Rasanya menurutku enak juga, teksturnya kenyal dan isian kacang tanahnya manis.

Setelah membeli kue mochi, karena waktu masih lama hingga keberangkatan, kami memutuskan untuk berjalan-jalan di alun-alun Sukabumi dan Taman Kota Lapang Merdeka. Karena saat itu siang hari, maka suasana terasa sangat panas, tapi hal tersebut tidak membuat kami berhenti untuk berfoto di tengah Lapang Merdeka.

Lapang Merdeka
Lapang Merdeka
Alun-Alun
Alun-Alun

Sekitar pukul setengah tiga kami berangkat menuju stasiun. Cukup berjalan kaki karena jarak antara alun-alun dengan stasiun tidak begitu jauh, melewati pasar tradisional Sukabumi yang ternyata wanginya tidak jauh dengan pasar-pasar di daerah lain. Sekitar 15 menit berjalan akhirnya kami samapai di stasiun. Sebelum kereta berangkat, kami sempatkan berfoto bersama dahulu di depan stasiun.

Foto Bersama di Depan Stasiun Sukabumi
Foto Bersama di Depan Stasiun Sukabumi
Sampai Jumpa Lagi Sukabumi
Sampai Jumpa Lagi Sukabumi

Ada kejadian menarik saat kami naik kereta, Iqbal ternyata melihat sesosok wanita yang sesuai kriterianya, yang model slim seperti Rukmana dalam sinetron Tukang Bubur Naek Haji. Tapi karena dipisahkan oleh gerbong kereta, Iqbal hanya dapat melihat wanita tersebut hanya lewat saja.

Di dalam kereta kami tidak bermain UNO seperti saat keberangkatan, mungkin karena sudah capek dan posisi dudukku yang terpisah dengan lainnya. Tidak terasa perjalanan kereta menuju Bogor Paledang telah usai, para penumpang mulai bergerak keluar gerbong kereta. Kami langsung menuju stasiun Bogor untuk berganti moda Commuter Line.

Di atas commuter line, entah apa karena sudah takdir Tuhan, wanita yang dilihat Iqbal ketika di stasiun Sukabumi juga naik di commuter line yang sama dengan kita dan duduk di samping Iqbal. Tapi hal tersebut tidak berlangsung lama. Belum sempat Iqbal melancarkan aksi pendekatannya, tiba-tiba saja wanita tersebut diajak teman-temanya untuk pindah gerbong. Pupus sudah harapan Iqbal.

Commuter line menuju Jakarta mulai bergerak maju, Seno yang pertama kali turun di Stasiun UI, kemudian aku dan Herdi yang turun di Stasiun Tebet, dan akhirnya Iqbal melanjutkan perjalanannya seorang diri menuju Tangerang, yang mungkin disertai perasaan menyesal karena kesempatan tidak datang dua kali.

Sukabumi: Cibeureum Menyimpan Cerita

Kami dijemput oleh Indra dan ayahnya dengan menggunakan mobil sehingga semua orang bisa langsung terangkut. Kota Sukabumi di malam hari terasa sepi dan sunyi dan sangat berbeda jauh dengan keadaan Jakarta yang ramai. Kami melintasi jalanan kota menuju daerah Salabintana, tempat rumah Indra berada. Angin malam yang dingin terasa menenangkan perasaan, sedikit melupakan kekhawatiran akan ketidakpastian.

Tidak lama kemudian kami telah tiba di rumah Indra yang bagiku ini adalah kunjungan kedua kalinya, tapi bagi yang lain ini adalah yang pertama. Rumah Indra ini selain tempat tinggal, juga menjadi tempat praktik ibunya yang seorang bidan. Kami langsung memasuki rumah karena ingin segera beristirahat, dan disambut hangat oleh Ibu Indra. Kami disediakan tempat tidur yang nyaman disana. Udara Sukabumi yang dingin-dingin enak ditambah kesunyian malam menemani tidur kami malam itu.

Keesokan harinya kami berencana untuk mengunjungi sebuah air terjun yang letaknya tidak begitu jauh dari rumah Indra, dan masih di kawasan Salabintana juga. Nama air terjun itu adalah air terjun Cibeureum, terletak di kaki gunung Gede dan masuk di dalam kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango resort Salabintana. Untuk menuju ke sana kami harus naik angkot sekali dari depan rumah Indra. Tidak lama kami menunggu akhirnya angkot berwarna merah tiba juga. Kami langsung naik ke angkot tersebut dan Ibu Indra langsung berbicara dengan si supir angkot dengan bahasa Sunda tingkat tinggi yang tidak aku mengerti artinya. Mungkin yang diomongkan mereka adalah “anak-anak ini mau ke Cibeureum, tolong dijaga ya… :D”.

Angkot warna merah ini pun berangkat. Di dalam angkot sudah ada sekitar 3 orang penumpang lainnya. Dan sekali lagi aku dipusingkan dengan pembicaraan mereka yang membuatku senyum-senyum sendiri karena mereka menggunakan bahasa Sunda level native speaker. 😀 Jalan menuju resort Salabintana terus menanjak dan berliku, juga sangat sepi. Melewati perkebunan teh yang dikelola sebuah perusahaan kami disuguhkan pemandangan yang sangat memukau. Hingga akhirnya angkot merah berbelok ke sebuah tanah lapang yang terdapat banyak warung. Ternyata sudah sampai.

Pintu Masuk Jalur Salabintana
Pintu Masuk Jalur Salabintana

Dari sinilah kami mulai perjalanan dengan berjalan kaki menyusuri jalan setapak yang jalurnya sudah sangat jelas. Dari sini pula jalur untuk menuju puncak Gunung Gede jalur Salabintana dimulai. Menurut keterangan di sana, jarak yang harus ditempuh untuk menuju air terjun Cibeureum adalah sejauh 3,5 km dengan waktu tempuh sekitar 1,5 jam. Jalan setapak berbatu terus menemani perjalanan kami. Suasana terasa sangat lembab karena pohon-pohon besar seolah menjadi kanopi alami dan sepanjang perjalanan kami ditemani oleh aliran sungai kecil. Nah, karena lingkungan yang lembab dan basah tadi maka tidak heran populasi pacet si penghisap darah sangat banyak. Kami sebelumnya tidak mengetahui hal tersebut, sehingga hampir semua dari kami hanya memakai sandal terbuka, yang menjadi sasaran manis untuk para pacet tersebut. Seno yang memiliki badan yang agak berisi berkat fitnesnya yang rutin sepertinya tidak salah jika menjadi favorit para pacet. Dengan diam-diam seekor pacet telah nempel di kaki Seno yang malang dan dengan asyik menghisap darahnya. Hingga tiba-tiba Seno merasa ada yang janggal di kakinya. Begitu tahu ada pacet yang nempel di sana, langsung saja muncullah sumpah serapah darinya. Kami langsung berupaya menyingkirkan pacet itu dari kaki Seno. Kami berusaha mencari puntung rokok buat diambil tembakaunya sebagai pengusir pacet namun tidak ketemu, maka akhirnya kami pun menggunakan cara paksa untuk mengusir si pacet. Si pacet yang sudah setengah gendut akhirnya dapat disingkirkan. 😀

Jalur Batu dan Sungai
Jalur Batu dan Sungai
Layaknya Foto di Abbey Road
Layaknya Foto di Abbey Road

Perjalanan terus berlanjut menyusuri jalan batu hingga sayup-sayup terdengar suara derasnya air terjun. Suara tersebut bagaikan lagu penghipnotis karena kami semakin bertambah semangat untuk segera sampai di tujuan. Tidak seberapa lama berjalan akhirnya kami dapat melihat gagahnya air terjun Cibeureum yang mengucurkan air dari ketinggian 60 meter. Oh iya, sepengetahuanku ada dua air terjun dengan nama Cibeureum, satu berada di Cibodas dan yang satu lagi berada di Salabintana ini. Tidak membuang waktu, kami segera berfoto dan bernarsis ria. Kata Indra, kalau pengunjung sedang ramai maka kita bisa menemukan warung di sana yang menjual berbagai makanan ringan. Tapi karena saat itu sedang sepi dan tidak ada pengunjung selain kami jadi ya tidak ada yang berjualan di sana.

Air Terjun Ciebeureum
Air Terjun Ciebeureum
Papan Keterangan
Papan Keterangan

Kurang afdol rasanya kalau berkunjung ke objek air terjun kemudian tidak mandi dan bermain air di sana. Derasnya air yang jatuh membuat sensasi pijat di kulit, pijatan yang lumayan menusuk kulit. Dan karena saat itu sedang heboh-hebohnya tantangan #icebucketchallenge , maka muncullah ide membuat tantangan serupa tapi beda yaitu #icewaterfallchallenge. Agak dipaksakan memang tapi ya tetap dilakukan juga. Seno yang pertama kali mencoba. Setelah kamera siap merekam, dia pun memulai aksinya. Awalnya dibuka dengan pembukaan yang kurang lebih seperti ini “Gue tantang blah blah blah buat ngelakuin ice waterfall challenge blah blah blah …” setelah itu baru mengguyurkan diri di bawah air terjun Cibeureum yang cukup membuat badan menggigil. Begitu seterusnya kami bergiliran melakukan hal yang tidak berguna itu. Rencananya video tersebut akan di upload di Instagram. Seno yang terlebih dahulu meng upload nya, kemudian disusul yang lain setelah mendapatkan tag dari Seno, persis seperti #icebucketchallenge. Yang pada akhirnya semua itu ternyata menjadi sebuah konspirasi terselubung. Seno yang sudah mengunggah videonya di Instagram dan juga men-tag yang lain harus menelan pil kekecewaan. Tidak ada satupun yang di tag meng-upload videonya di Instagram :D. Hingga mungkin karena merasa dikhianati dan mendapatkan jumlah like yang sedikit, serta comment-comment yang tidak sedap dari follower-nya, Seno menghapus video yang sudah di upload-nya di Instagram :D.

Groufie Dikit
Groufie Dikit

Hari semakin siang dan sepertinya kami telah puas menikmati pesona dari air terjun Cibeureum dan memutuskan untuk kembai pulang. Kali ini kami menempuh jalur yang berbeda dari keberangkatan. Di jalur ini kami akan disuguhi pemandangan yang berbeda karena jika awalnya perjalanan hanya menyuguhkan pemandangan hutan, maka di jalur yang ini selain melewati hutan juga akan melewati kebun teh. Jalur pulang akan berujung di perkampungan warga dan di sana kami sempatkan untuk sholat di masjid kemudian menunggu angkot untuk menuju kota Sukabumi.

Setelah mendapatkan angkot yang ternyata juga berwarna merah, perjalanan menuju kota Sukabumi dimulai. Rencananya kami akan berwisata kuliner di sana sekalian melihat hiruk pikuk kota Sukabumi di siang hari. Dan sampailah kami di lokasi yang kata Indra itu adalah tempat jajanan dan nongkrongnya anak-anak sekolah. Dan benar saja, begitu turun dari angkot kami langsung disambut dengan banyaknya anak-anak berseragam yang sepertinya baru pulang sekolah. Lumayan ramai dan jajanan yang ditawarkan sangat banyak, mulai dari cilok, bakso, gorengan, hingga es duren. Kami mencoba beberapa makanan hingga merasa puas.

Tak terasa hari sudah semakin sore dan kami memutuskan untuk kembali ke rumah Indra, kemudian beristirahat dan esok hari rencananya kami akan kembali ke Jakarta.

(akan berlanjut)

Sukabumi: Hampir Ketinggalan Kereta

Perjalanan kali ini sebenarnya adalah perjalanan dadakan yang direncanakan setelah kami yang menamakan diri Staveler selesai melaksanakan sebuah tes kompetensi dasar di Jakarta. Beberapa hari sebelum rencana ini muncul, kami berkumpul di rumah salah seorang anggota Staveler yang bernama Herdi di Tebet. Kami sudah lama tidak melakukan perjalanan bersama lagi setelah terakhir mengunjungi rumahku di Bondowoso, hingga akhirnya terbersit ide untuk melakukan perjalanan ke rumah seorang teman kami, Indra yang rumahnya di Sukabumi. Kami akhirnya langsung sepakat dan mengumpulkan uang serta fotokopi KTP untuk segera memesan tiket kereta Pangrango kelas ekonomi agar tidak kehabisan tiket. Aku yang bertugas membeli tiket kereta Bogor-Sukabumi dan Sukabumi-Bogor di stasiun Tanah Abang.

Hari keberangkatan pun tiba, aku bersama Iqbal berangkat bersama dari Tangerang. Karena kereta berangkat sekitar pukul 18.30 maka kami berpikir untuk berangkat di siang hari. Sedangkan dua orang teman lagi, yaitu Seno dan Herdi sudah sepakat untuk bertemu di stasiun Bogor, sedangkan Indra telah menunggu di Sukabumi. Aku dan Iqbal memakai Commuter Line untuk menuju stasiun Bogor dan berangkat dari Rumah Iqbal sekitar jam 2 siang. Tapi kami kurang beruntung, persis ketika kami turun dari angkot di depan stasiun Poris, kereta CL pun tiba-tiba telah melintas dan kami ketinggalan kereta. Ya sudahlah, kami harus menunggu sekitar setengah jam lagi untuk kereta selanjutnya. Waktu semakin mepet dengan waktu keberangkatan kereta Pangrango, sedangkan kereta CL kami masih jauh dari stasiun Bogor. Rasa was-was ketinggalan kereta langsung menghantui kami. Seno dan Herdi setelah kami hubungi ternyata sudah berada di stasiun Bogor dan aku menyuruh mereka untuk menuju stasiun Paledang terlebih dahulu. Oh iya, keberangkatan kereta Pangrango bukan dari stasiun Bogor melainkan dari Stasiun Paledang yang letaknya tidak begitu jauh dari stasiun Bogor.

Stasiun Paledang (sumber: google image)
                                    Stasiun Paledang (sumber: google image)

Akhirnya sekitar pukul 18.10 kereta CL kami telah tiba di stasiun Bogor dan kami langsung menuju luar stasiun untuk menuju ke stasiun Paledang. Masalah lain muncul, kami kesulitan mencari lokasi stasiun Paledang hingga akhirnya kami bertanya dengan orang-orang sekitar. kami mencoba menghubungi Seno dan Herdi yang kami kira sudah berada di stasiun Paledang, namun ternyata mereka masih berada di stasiun Bogor. Maka jadilah kehebohan dimulai. Aku dan Iqbal terus berlari menuju stasiun Paledang sementara Seno dan Herdi entah sudah berada di mana aku juga tidak tahu. Ketika Aku dan Iqbal sudah berada di stasiun Paledang kereta sepertinya sudah siap berangkat dan para penumpang lainnya telah masuk ke dalam kereta. Pikiran tidak jadi berangkat kembali muncul, hingga akhirnya perjuangan kami tidak sia-sia, sambil berlari tergopoh-gopoh, Seno dan Herdi terlihat menuju stasiun Paledang. Tidak sempat berbasa-basi kami langsung menuju petugas pemeriksa tiket dan sepertinya petugasnya sudah tidak melihat kebenaran data antara KTP dengan tiket karena tiket kami langsung di stempel. 😀

Akhirnya setelah ngos-ngosan sehabis berlari kami bisa duduk dengan tenang di dalam kereta Pangrango yang sebenarnya sama dengan kereta ekonomi pada umumnya. Pemandangan di luar tentu sudah gelap dan tidak terlihat apa-apa sehingga kami menghabiskan waktu di dalam kereta dengan bermain kartu UNO. Tidak terasa sekitar 2 jam waktu berlalu, dan kereta memasuki stasiun Sukabumi. Indra telah berada di sana untuk menjemput kami bersama ayahnya. Hawa sejuk kota Sukabumi langsung menyapa kami setelah turun dari kereta. Yey, akhirnya Staveler sudah menginjakkan kakinya di Sukabumi. Petualangan menanti esok harinya.

(akan berlanjut)